Kamis, 04 Agustus 2011

Aku adalah MilikMu

“Lari! Lari yang cepat!” teriak Darla pada diri sendiri.
Dia mempercepat langkah kakinya. Berlari di dalam kegelapan.  Jantungnya memompa darahnya dengan cepat. Kedua pipinya tampak kemerahan. Keringat mengalir dari tubuhnya. Dia telah berlari dari tadi. 30 menit? 1 jam? 5 jam? Dia tidak tahu. Dia hanya tahu ada yang mengejarnya. Apa yang mengejarnya, dia tidak tahu. Darla tidak pernah menoleh ke belakang untuk melihat. Instingnya memintanya untuk berlari secepat mungkin.  Dan Darla mengikuti instingnya. 
Dia berlari melewati jalan raya, lorong-lorong dan jembatan-jembatan. Dia melihat banyak bangunan-bangunan yang tampak seperti gedung perkantoran, apartemen dan rumah-rumah. Tetapi tidak ada pintu dan daun jendela pada bangunan-bangunan itu. Darla sempat berpikir, semua bangunan tampak familiar. Tetapi pikiran itu dengan segera dilupakannya, karena dia harus konsentrasi berlari. Lari dengan cepat.
Setiap kali Darla melewati sebuah persimpangan, dia akan memilih jalan secara acak. Dia toh tidak tahu mau kemana. Disini tidak ada papan petunjuk jalan. Hanya 2 harapannya. Dia bisa keluar dari tempat yang aneh ini dan pulang ke rumah.
‘Rumah?’ Entah kenapa kata ini membuat hatinya sakit. Sambil berlari terengah-engah, Darla teringat papa mamanya yang selalu bertengkar. Dia teringat papa yang tidak pernah kelihatan di rumah. Mama yang selalu menangisi papa. Kata-kata itu membuatnya sakit.
“Darla.” Sebuah suara memanggilnya dari belakang.
Ingatan Darla langsung buyar. “Iya, aku harus keluar dari tempat ini.” Darla pun mempercepat pergerakan kakinya.
“Darla,” panggil suara itu lagi.
“Berhentilah mengejarku.” Teriak Darla tanpa menoleh ke belakang. Air mata mengalir dari kedua belah pipinya. Darla sudah capek berlari. Dia ingin keluar.
“Aku tidak bisa.” Sahut suara itu dengan lembut.
“Kenapa?” teriak Darla dengan frustasi.
“Karena kamu milikku.” Jawab suara itu dengan tenang.
“Aku bukan milikmu. Kamu bukan siapa-siapa bagiku.”
“Kamu milikku. Aku telah membelimu.”
Darla mendengus. “Kamu kira kamu siapa? Kamu beli aku dari orang tuaku?”
“Dari majikanmu. Supaya kamu bisa mendapatkan hidup yang penuh bahagia.”
“Apaan si?”
“Penceraian papa mama. Aborsi. Narkoba.”

Darla berhenti berlari. Dia menoleh dan memelototi ke arah suara itu berasal. Tetapi dia tidak melihat apapun. Dia hanya melihat bangunan-bangunan yang tampak familiar itu.
“Jangan kamu mencampuri urusanku!” teriak Darla ke arah suara itu.
Suara itu tidak menyahut.

Darla hendak melanjutkan larinya, ketika terjadi gempa yang dahsyat. Jalan-jalan di belakangnya terbelah. Belahan itu semakin lama semakin lebar dan dalam. Tercium aroma yang sangat menyengat. Dia merasakan hawa panas yang teramat sangat. Beberapa menit kemudian, dia melihat lautan api di tengah-tengah jalan yang terbelah.
‘Jika aku terjun, apakah dia akan keluar dari labirin ini?’ pikirnya.
“Jangan Darla!” teriak suara itu.
“Berisik! Aku tidak mau berada di tempat ini terus! Mungkin di lautan itu ada jalan keluar.”
“Jika kamu terjun, kamu akan tinggal di kegelapan yang mengerikan selamanya.”
“Mengerikan? Ha? Kamu kira aku takut? Aku pernah melakukan banyak hal yang orang-orang takuti. Aku pernah berada di kandang singa. Aku pernah makan laba-laba hidup-hidup. Aku pernah melompati gerbong ke gerbong ketika kereta berjalan cepat. Aku pernah... “ bual Darla.
“Di situ neraka!” teriak suara itu. “Ayo, ikut aku! Aku akan membawamu kembali.”
“Kemana? Ke kegelapan yang tadi?” tanya Darla. Harapan untuk keluar dari tempat ini sudah mulai sirna.
“Kembali ke kehidupan.”

‘Kehidupan?' Darla teringat hal yang terakhir dia lakukan sebelum dia tiba di kegelapan ini. Dia menyayatkan dirinya sendiri. Orang tua yang siap bercerai. Pacar yang merupakan satu-satunya sumber kebahagiaan, selingkuh dengan teman baiknya. Semuanya salah dia. Orang tuanya terpaksa menikah karena mamanya hamil. Pacarnya meninggalkannya karena Darla kurang perhatian. Dia tidak mampu membuat orang lain bahagia. Dia pantas tidak kembali ke kehidupan. Dia sepertinya cocok di neraka.

“Darla.” Sahut suara itu. “Aku mengasihimu. Aku ingin memberikan hidup yang penuh kebahagiaan.”
Darla menatap ke arah suara itu berasal. Dia tidak bergeming. Dengan tatapan menantang, dia berkata, “kalau aku benar-benar milikmu. Kamu benar-benar mengasihiku. Tangkaplah aku!”
Darla melemparkan dirinya ke dalam jurang. Suara itu tidak menjawab. Darla tersenyum sinis.
‘Hidup yang bahagia? Menangkap aku saja dia tak sanggup. Pembohong!’
Darla menutup matanya. “Selamat tinggal Suara!”

Tiba-tiba dia berhenti jatuh. Sebuah kehangatan menopang tubuhnya. Kehangatan yang teramat sangat. Kehangatan yang membuat air matanya mengalir tanpa henti. Dan dia merasakan damai yang teramat sangat.
“Bukankah kukatakan, kalau kamu itu milikku? Maukah sekarang kamu mengakuinya?”
Pintu sebuah ingatan yang telah lama dikuncinya, terbuka. Dia kenal pemiliknya. Pribadi yang telah membelinya dengan nyawanya. Darahnya. Pribadi yang pernah dia baca ketika dia sekolah. Dia hidup, sehidup yang dibacanya. Dia bukan dongeng.
“Ya. Tuhan Yesus, aku milik-Mu. Kamu adalah penyelamatku dan Rajaku.”

*Terinspirasi oleh lagu Israel Houghton ‘I know who I am’*

Tidak ada komentar: