Selasa, 15 Juni 2010

Sebuah Perubahan

Kemampuan untuk berubah setara dengan kemampuan untuk "tidak sungguh-sungguh mau" atau "tidak mau" berubah. Kemampuan itu memiliki sumber yang sama: determinasi.

Aku tidak terlalu ingat, aku mendapatkan pemikiran ini dari mana. Mungkin di salah satu khotbah,  seminar, buku yang pernah kubaca, atau sebuah kejadian di masa lalu. Aku tidak terlalu ingat. Tetapi, kalimat ini melompat keluar dari hatiku, ketika aku merenungkan perubahan.

Visi dan Harapan. Visi dan harapan membuat orang menginginkan dan mempercayai perubahan. Perubahan pendapatan,  perubahan pekerjaan, perubahan gaya hidup, perubahan sikap, dan lain-lain. Dan ya, aku berharap akan perubahan pada diriku sendiri. Apakah untuk diriku sendiri? atau untuk orang lain? Aku menjawab keduanya. Aku tidak membenci diriku sendiri. Aku hanya ingin menjadi pribadi yang lebih kuat, disiplin, tegas, integritas dan penuh kasih. Lewat perubahanku, aku yakin ada orang-orang yang akan menikmati perubahan itu. Salah satunya, keturunan-keturunanku.

Perjalanan. Perubahan hanya terbentuk, ketika kita mau melewati sebuah perjalanan. Jika aku melihat ke masa lalu, aku sendiri tidak tahu kapan titik balikku, yah, selain keputusan untuk mengenal Tuhan. Tiba-tiba pada suatu hari, aku baru menyadari, ternyata aku tidaklah sama seperti dulu lagi. Banyak kejadian-kejadian yang kulalui, banyak pilihan-pilihan yang harus kulakukan; semuanya itu membuatku berubah.

Determinasi. Aku ingin melihat perubahan. Aku ingin melihat diriku menjadi seperti yang Tuhan mau. Pikiran dan hatiku beradu, aku harus berdeterminasi untuk mau berubah. Aku sering merenungkan, "apakah aku mau seperti ini terus? Apakah aku mau mundur dari perjalananku? Apakah aku ingin kembali seperti dulu?." Pertanyaan-pertanyaan itu, tidak selalu kujawab sehabis meneguk air. Berhari-hari, berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan, pertanyaan itu menanti keputusanku.

Tuhanku, Yesus. Sebuah tangan yang memegang tangan kananku. Penyelamatku. Batu karangku yang teguh. Sumber kekuatanku. Kedamaianku. Tempat aku bersandar dan beristirahat saat beban bertambah berat. Bapaku, yang menegur dan mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang. Sahabat yang setia berjalan bersamaku. Semua perubahan ini bisa terjadi karena Dia.

Saat ini, aku duduk di belakang meja komputer. Sekali lagi aku merenungkan, "Apakah aku mau aborsi visi dan harapanku dengan kemalasanku?" Sebuah bisikan penuh kasih, "Aku besertamu. Tidak ada perubahan yang tidak mungkin, saat kamu sungguh-sungguh ingin berubah dan bersandar padaKu."


Jakarta, 15 June 2010.
11 hari menjelang ulang tahunku.